Habibillah

The Habibillah's WebPage

Selamat Datang di Web Pribadi Habibillah

Free Web Hosting
 
Habibillah

 

 

HAKIKAT TAWAKKAL

HAKIKAT TAWAKKAL
Perintah bertawakkal bukannya menganjurkan agar seseorang tidak berusaha atau mengabaikan hukum-hukum “sebab-akibat”. Tidak! Seorang muslim dituntut untuk berusaha sambil berdoa dan setelah itu ia dituntut lagi untuk berserah diri (tawakkal) kepada Allah.
Definisi Tawakkal
Tawakkal  terambil dari kata wakala - yakilu  yang berarti  "mewakilkan" dan dari kata ini juga terbentuk kata  wakîl. Tawakkal adalah menjadikan Allah secara sungguh-sungguh sebagai  wakil  dalam aneka pengertiannya. 

Seseorang apabila mewakilkan orang lain untuk suatu  persoalan,  maka  ia telah menjadikannya sebagai dirinya sendiri dalam mengelola persoalan tersebut, sehingga yang diwakilkan (wakil) melaksanakan apa yang dikehendaki oleh yang menyerahkan  perwakilan kepadanya.

Menjadikan  Allah  sebagai  wakil (mewakilkan  kepada  Allah) dengan makna di atas berarti menyerahkan kepada-Nya persoalan yang dihadapi oleh yang mewakilkannya. Dialah yang bertindak sesuai dengan "kehendak" manusia yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya.

Makna ini dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak  dijelaskan lebih jauh sekelumit perbedaan antara Khâliq dan Makhlûq, dalam konteks makna tawakkal.

Ada dua hal pokok yang perlu digarisbawahi, yaitu: Pertama,  keyakinan  tentang  makna keesaan Allah. Keesaan Allah antara lain berarti  bahwa perbuatan-Nya Esa sehingga tidak dapat dipersamakan dengan perbuatan  makhluk, walaupun penamaannya mungkin sama. Sebagai  contoh, Allah menyandang sifat  Rahîm. Sifat ini dapat dinisbahkan juga kepada manusia, namun hakikat dan  kapasitas rahmat Allah  tidak dapat dipersamakan  dengan  apa yang dimiliki makhluk,  karena  mempersamakannya   mengakibatkan gugurnya makna keesaan itu. Itu sebabnya  sehingga  kata  Rahîm  bila menjadi sifat Allah (terjemahannya) harus didahului oleh kata  Maha  sebelum kata  Pengasih, karena tanpa kata tersebut dapat timbul kesan persamaan.

Harus juga diingat bahwa Allah Swt. adalah wujud Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan segala Maha  yang  mengandung makna pujian yang sesuai dengan keagungan-Nya. Sebaliknya, manusia memiliki  keterbatasan dalam segala hal, bahkan keterbatasan dalam setiap hal yang dihadapinya. Akibatnya, manusia tidak mungkin akan mampu menjadi wakil dalam segala masalah. Ia hanya dapat dijadikan wakil dalam hal-hal yang diduga keras oleh yang mengangkatnya  bahwa ia mampu dalam bidang itu dan itupun memiliki keterbatasan. Ini  berbeda dengan Allah Swt. Ketika seseorang menjadikan-Nya wakil, maka Dia tidak perlu kuatir bahwa ada persoalan yang tidak mampu diselesaikan-Nya dengan amat baik, karena yang mewakilkan itu seharusnya telah percaya firman-Nya:  Dia  (Allah)  atas   segala sesuatu   menjadi   wakîl  (QS. Al-An’âm [6]: 102). Setiap yang menjadikan-Nya wakil  akan tenang fikiran dan jiwanya karena yang mewakilinya itu akan melakukan yang terbaik untuknya dan bahwa Dia Yang Maha Kuasa itu sendiri telah cukup untuk menangani persoalannya sebaik mungkin. Ini karena yang mewakilkan telah percaya firman-Nya yang menyatakan bahwa Cukuplah Allah sebagai Wakîl (QS. An-Nisâ' [4]: 81).

Memang wakil diharapkan/dituntut agar dapat  memenuhi kehendak dan harapan yang mewakilkan kepadanya. Namun, karena dalam perwakilan  manusia  "seringkali" atau, paling tidak, yang  mewakilkan lebih tinggi kedudukannya dan atau pengetahuannya dari sang wakil, maka ia dapat saja tidak menyetujui/membatalkan tindakan sang wakil atau menarik kembali perwakilannya bila  ia merasa  -- berdasarkan pengetahuan dan keinginannya -- bahwa  tindakan wakilnya  merugikan.  Ini bentuk perwakilan manusia.  Tetapi,  jika seseorang  menjadikan  Allah sebagai wakil, maka hal  serupa  tidak boleh  terjadi, karena sejak semula ia telah menyadari keterbatasannya  dan menyadari pula kemahamutlakan Allah Swt. Karena itu pula, baik ia mengetahui maupun   tidak sebab/hikmah satu perbuatan Tuhan, ia akan menerimanya dengan sepenuh hati, karena dia yakin dengan firman-Nya: "Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak  mengetahui". (QS. Al-Baqarah [2]: 216).

Demikian  beberapa  segi dari makna keesaan Allah yang melahirkan perbedaan  antara  siapa yang  menjadikan Allah sebagai wakil dan menjadikan selain-Nya sebagai wakil.

Kedua, keterlibatan yang mewakilkan. Jika anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan  sesuatu, maka anda telah menugaskannya untuk melaksanakan hal tersebut. Anda tidak perlu lagi melibatkan diri. Dalam kamus-kamus bahasa, makna ini secara jelas digarisbawahi. Kata mewakilkan diartikan sebagai "menyerahkan, membiarkan, serta merasa cukup"(pekerjaan tersebut  dikerjakan oleh  seorang wakil).

Dalam hal menjadikan Allah Swt. sebagai  wakîl atau  bertawakkal  kepada-Nya, manusia dituntut terlebih dahulu untuk melakukan sesuatu  yang berada dalam batas  kemampuannya. Dengan kata lain, manusia dituntut untuk berusaha. Karena itu, tawakkal  tidak boleh dilakukan sebelum adanya usaha dari manusia, dan memang dalam berusaha itu manusia harus meminta pertolongan kepada Allah Swt.

Membaca basmalah yang dianjurkan untuk dilakukan setiap memulai satu pekerjaan pada hakikatnya adalah permohonan bantuan-Nya, di mana tanpa bantuan-Nya manusia tidak akan mampu melakukan sesuatu. Permohonan bantuan adalah permohonan agar dipermudah apa yang tidak mampu diraih oleh yang bermohon dengan upayanya sendiri. Para ulama mendefinisikannya sebagai “Penciptaan sesuatu yang dengannya menjadi sempurna atau mudah pencapaian apa yang diharapkan”.

Seorang sahabat menemui  Nabi Saw.  di masjid tanpa terlebih dahulu menambatkan untanya. Ketika Nabi Saw. menanyakan  hal  tersebut, dia menjawab,  "Aku  telah  bertawakkal kepada Allah”.  Nabi Saw. meluruskan kekeliruannya tentang arti tawakkal dengan bersabda:    إعقلها ثم توكل "Tambatkanlah terlebih dahulu (untamu),  kemudian setelah itu bertawakkallah." (HR. At-Tirmidzy).  Memang dalam al-Qur'an banyak sekali perintah untuk beramal/berusaha, juga bertawakkal. Tidak mungkin keduanya bertentangan. Ia merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan.  Untuk menguji kebenaran tesis di atas, mari kita melihat uraian al-Qur'an tentang tawakkal.

Tawakkal dalam al-Quran
Perintah bertawakkal dalam  al-Qur'an ditemukan sebanyak 11 kali, sembilan di antaranya berbentuk tunggal (tawakkal) dan dua berbentuk  jamak (tawakkalû).  Dari penelusuran terhadap ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa perintah bertawakkal datang setelah sebelumnya ada perintah berusaha/melakukan aktivitas positif.

Perhatikanlah beberapa ayat berikut:
a). Surah آli 'Imrân [3]: 159:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, engkau berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka. Engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya . QS. آli 'Imrân [3]: 159).

Terbaca bahwa perintah bertawakkal datang sesudah serangkaian perintah untuk berusaha terlebih dahulu dan berakhir dengan musyarawah. Setelah kebulatan tekad menyangkut hasil musyawarah, maka itu harus dilaksanakan dengan bertawakkal /berserah diri kepada Allah Swt.

b). Surahِ al-Mâidah [5]: 23: نَ
“Serbulah  mereka melalui  pintu gerbang (kota), maka bila kamu memasukinya  niscaya kamu akan menang, dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang-orang mukmin.

Terbaca di atas bahwa perintah menyerbu yang ditujukan kepada sekelompok orang itu mendahului perintah bertawakkal jika benar mereka beriman.

c). Surah Al-Anfâl [8]: 61:
"Dan jika mereka  condong kepada perdamaian, maka condonglah  kepada-Nya  dan bertawakkallah  kepada  Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

Di sini perintah cenderung pada perdamaian mendahului perintah bertawakkal.

d). Surah Hûd [11]: 123:
“… dan kepada-Nya dikembalikan segala persoalan, maka sembahlah Dia  dan bertawakkallah kepada-Nya."

Di sini perintah bertawakkal datang setelah perintah beribadah, dalam arti melakukan aneka aktivitas yang direstui Allah, baik ibadah murni maupun bukan.

Kata lain yang digunakan al-Qur'an dalam arti yang sama dengan tawakkal  adalah  fawwadha yakni  "mengembalikan". Kata ini  hanya digunakan  sekali  oleh al-Qur’an dalam bentuk kata  kerja  tunggal (ufawwidhu). Dalam  Surah Al-Mu’mîn  [40]: 38-44 diceritakan bagaimana seseorang  berusaha semampunya untuk menasehati Fir`aun dan kaumnya,  kemudian setelah selesai melaksanakan tugasnya,  barulah  ia berkata:

"Kelak kamu akan ingat apa yang kukatakan  kepadamu,  aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hambaNya."

Demikian beberapa contoh yang diangkat dari al-Qur'an, sehingga pada akhirnya kita dapat berkata bahwa al-Qur'an memerintahkan untuk berusaha,  sambil memohon bantuan Allah terlebih dahulu, baru kemudian bertawakkal, seperti bunyi teguran  Nabi Saw. kepada sahabat yang menambatkan untanya, yang telah dikutip di atas.

Tawakkal dan Usaha Manusia
Perintah  bertawakkal  bukannya  menganjurkan agar seseorang tidak   berusaha  atau mengabaikan  hukum-hukum “sebab-akibat”. Tidak! Bertawakkal ialah menjadikan Allah sebagai wakil, sehingga mengharuskan seseorang  meyakini  bahwa Allah yang mewujudkan segala  sesuatu  yang terjadi  di alam raya ini, sebagaimana dia harus  menjadikan  kehendak dan tindakannya sejalan dengan  kehendak dan ketentuan Allah Swt.  Seorang muslim dituntut  untuk berusaha sambil berdoa dan setelah itu  ia  dituntut lagi untuk berserah diri kepada Allah. Ia  dituntut melaksanakan  kewajibannya, kemudian menanti hasilnya, sebagaimana kehendak dan ketetapan Allah.

Anda harus berusaha dalam batas-batas yang dibenarkan, disertai  dengan ambisi yang meluap-luap untuk meraih sesuatu. Tetapi, jangan ketika anda gagal meraihnya, anda meronta atau berputus asa serta melupakan anugerah  Tuhan yang selama ini telah anda capai.

Tawakkal adalah buah iman kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena itu kesempurnaan iman ditandai oleh tawakkal. Dalam Surah Al-Mâidah [5]: 23 yang penulis kutip di atas, jelas sekali keterkaitan antara iman dan tawakkal dalam firman-Nya: “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang-orang mukmin”. Demikian juga firman-Nya dalam Surah Yûnus [10]: 84. Di sana Allah mengabadikan ucapan Nabi Musa As. yang berkata kepada kaumnya:  
"Jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri."  

Ada dua peristiwa yang dialami Nabi Muhammad Saw. bersama Sayyidina Abu Bakar Ra. yang dapat  menjadi penjelasan yang sangat gamblang tentang usaha dan tawakkal, dan tempatnya masing-masing.  Yakni, peristiwa hijrah dan peristiwa perang Badr.

Dalam peristiwa hijrah ketika Nabi Saw. bersama Sayyidina Abubakar berada dalam gua, di mana saat itu juga  sekelompok kaum musyrik yang mengejar mereka telah berada di mulut gua, ketika itu Sayyidina Abu Bakar sangat gelisah, namun Nabi Saw. sangat tenang. Beliau bersabda menenangkan sahabatnya, sebagaimana diabadikan al-Qur'an: “Jangan bersedih (dan jangan takut) sesungguhnya Allah bersama kita".  Demikian dalam peristiwa hijrah,  tetapi dalam peristiwa perang Badr, keadaan Nabi dan sahabat beliau itu bertolak belakang. Di sana Nabi Saw. sangat gelisah, berdoa dan berdoa, sampai-sampai terjatuh sorban beliau. Namun, Abu Bakar Ra. tampil tenang dan menenangkan beliau, bahkan  menganjurkan untuk berhenti berdoa. Dua sikap Nabi Saw. yang berbeda itu adalah sikap yang diajarkannya, sebaliknya tanpa mengurangi sedikitpun penghargaan kepada sahabat Nabi yang agung Sayyidina Abu Bakar Ra. atau mengurangi jasa-jasa beliau, kita berkata bahwa sikap Sayyidina Abubakar itu adalah sikap yang kurang tepat.

Dalam peristiwa hijrah di mana mereka berada dalam gua, maka ketika itu tidak ada lagi usaha yang dapat mereka lakukan -- setelah sebelumnya melakukan segala yang dapat mereka lakukan -- seperti  perencanaan yang matang, penelusuran jalur menuju Madinah yang tidak biasa ditempuh, penyiapan kendaraan dan tenaga penunjuk jalan (informan), penyiapan konsumsi,  dan sebagainya. Sehingga, ketika tidak ada usaha lagi, maka di sanalah tempat berserah, sambil meyakini bahwa apapun yang terjadi, maka Dia yang menjadi "wakil"  akan bertindak dengan  tindakan yang terbaik. Seandainya  yang terjadi ketika itu adalah penangkapan bahkan pembunuhan mereka, maka itulah pilihan terbaik. 

Peristiwa Badr berbeda dengan peristiwa hijrah. Disana  Nabi Saw. bersama sahabat beliau belum terdesak, masih ada usaha yang dapat  mereka lakukan dan ini kemudian terbukti bahwa mereka berusaha membela dengan berperang. Bisa jadi juga kekuatiran Nabi Saw. itu berkaitan dengan orang banyak  (313  pasukan muslim) yang bisa gugur yang berakibat seperti doa Nabi Saw. ketika itu, "Ya Allah, jika Engkau membinaskan kelompok ini, maka Engkau tidak akan  disembah lagi di persada ini".

Seorang muslim berkewajiban untuk menimbang dan memperhitungkan segala segi sebelum ia melangkahkan kaki. Tetapi, bila pertimbangannya keliru, atau perhitungannya meleset, maka  ketika  itu (akan tampil  dihadapannya)  Allah  Swt.  yang  dijadikannya "Wakil",  sehingga ia tidak larut dalam kesedihan  dan  keputusasaan,  karena ketika itu ia yakin bahwa "Wakilnya" telah  bertindak  dengan  sangat bijaksana dan menetapkan  untuknya  pilihan yang  terbaik. "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal  ia  amat baik  bagimu,  dan  boleh jadi (pula  sebaliknya)  kamu  mencintai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui" (QS. 2: 216).

Dengan perintah bertawakkal, al-Qur'an menghendaki agar umat Islam  hidup dalam realitas yang menunjukkan bahwa tanpa usaha tak mungkin  tercapai harapan,  dan tak ada gunanya berlarut dalam kesedihan jika realita  tidak dapat diubah lagi.

"Hadapilah  kenyataan.  Jika  kenyataan  itu  tidak  berkenan di hati Anda atau tidak sesuai dengan harapan Anda, maka usahakanlah agar Anda menerimanya." Demikian ungkapan seorang 'arif.

Tentu masih banyak uraian dan aspek  dari tawakkal  yang dikemukakan oleh para pakar,  termasuk aneka pengertian dan penerapannya. Namun demikian, semoga apa yang dipaparkan di sini dapat memberi gambaran umum tentang makna tawakkal serta kesalahpahaman umum yang terjadi selama ini.  Demikian, Wa Allah A’lam.

Sumber :
Ditulis sendiri oleh M. Quraish Shihab (Direktur PSQ)

 

 

 

Habibillah

Habibillah
April - 2008
S M T W T F S
    1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19
20 21 22 23 24 25 26
27 28 29 30     29
  31          

Habibillah


Copyright © 2008 Habiel Corporation.