The Habibillah's WebPage |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
HAKIKAT TAWAKKAL HAKIKAT TAWAKKAL Seseorang apabila mewakilkan orang lain untuk suatu persoalan, maka ia telah menjadikannya sebagai dirinya sendiri dalam mengelola persoalan tersebut, sehingga yang diwakilkan (wakil) melaksanakan apa yang dikehendaki oleh yang menyerahkan perwakilan kepadanya. Menjadikan Allah sebagai wakil (mewakilkan kepada Allah) dengan makna di atas berarti menyerahkan kepada-Nya persoalan yang dihadapi oleh yang mewakilkannya. Dialah yang bertindak sesuai dengan "kehendak" manusia yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya. Makna ini dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan lebih jauh sekelumit perbedaan antara Khâliq dan Makhlûq, dalam konteks makna tawakkal. Ada dua hal pokok yang perlu digarisbawahi, yaitu: Pertama, keyakinan tentang makna keesaan Allah. Keesaan Allah antara lain berarti bahwa perbuatan-Nya Esa sehingga tidak dapat dipersamakan dengan perbuatan makhluk, walaupun penamaannya mungkin sama. Sebagai contoh, Allah menyandang sifat Rahîm. Sifat ini dapat dinisbahkan juga kepada manusia, namun hakikat dan kapasitas rahmat Allah tidak dapat dipersamakan dengan apa yang dimiliki makhluk, karena mempersamakannya mengakibatkan gugurnya makna keesaan itu. Itu sebabnya sehingga kata Rahîm bila menjadi sifat Allah (terjemahannya) harus didahului oleh kata Maha sebelum kata Pengasih, karena tanpa kata tersebut dapat timbul kesan persamaan. Harus juga diingat bahwa Allah Swt. adalah wujud Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan segala Maha yang mengandung makna pujian yang sesuai dengan keagungan-Nya. Sebaliknya, manusia memiliki keterbatasan dalam segala hal, bahkan keterbatasan dalam setiap hal yang dihadapinya. Akibatnya, manusia tidak mungkin akan mampu menjadi wakil dalam segala masalah. Ia hanya dapat dijadikan wakil dalam hal-hal yang diduga keras oleh yang mengangkatnya bahwa ia mampu dalam bidang itu dan itupun memiliki keterbatasan. Ini berbeda dengan Allah Swt. Ketika seseorang menjadikan-Nya wakil, maka Dia tidak perlu kuatir bahwa ada persoalan yang tidak mampu diselesaikan-Nya dengan amat baik, karena yang mewakilkan itu seharusnya telah percaya firman-Nya: Dia (Allah) atas segala sesuatu menjadi wakîl (QS. Al-An’âm [6]: 102). Setiap yang menjadikan-Nya wakil akan tenang fikiran dan jiwanya karena yang mewakilinya itu akan melakukan yang terbaik untuknya dan bahwa Dia Yang Maha Kuasa itu sendiri telah cukup untuk menangani persoalannya sebaik mungkin. Ini karena yang mewakilkan telah percaya firman-Nya yang menyatakan bahwa Cukuplah Allah sebagai Wakîl (QS. An-Nisâ' [4]: 81). Memang wakil diharapkan/dituntut agar dapat memenuhi kehendak dan harapan yang mewakilkan kepadanya. Namun, karena dalam perwakilan manusia "seringkali" atau, paling tidak, yang mewakilkan lebih tinggi kedudukannya dan atau pengetahuannya dari sang wakil, maka ia dapat saja tidak menyetujui/membatalkan tindakan sang wakil atau menarik kembali perwakilannya bila ia merasa -- berdasarkan pengetahuan dan keinginannya -- bahwa tindakan wakilnya merugikan. Ini bentuk perwakilan manusia. Tetapi, jika seseorang menjadikan Allah sebagai wakil, maka hal serupa tidak boleh terjadi, karena sejak semula ia telah menyadari keterbatasannya dan menyadari pula kemahamutlakan Allah Swt. Karena itu pula, baik ia mengetahui maupun tidak sebab/hikmah satu perbuatan Tuhan, ia akan menerimanya dengan sepenuh hati, karena dia yakin dengan firman-Nya: "Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui". (QS. Al-Baqarah [2]: 216). Demikian beberapa segi dari makna keesaan Allah yang melahirkan perbedaan antara siapa yang menjadikan Allah sebagai wakil dan menjadikan selain-Nya sebagai wakil. Kedua, keterlibatan yang mewakilkan. Jika anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu, maka anda telah menugaskannya untuk melaksanakan hal tersebut. Anda tidak perlu lagi melibatkan diri. Dalam kamus-kamus bahasa, makna ini secara jelas digarisbawahi. Kata mewakilkan diartikan sebagai "menyerahkan, membiarkan, serta merasa cukup"(pekerjaan tersebut dikerjakan oleh seorang wakil). Dalam hal menjadikan Allah Swt. sebagai wakîl atau bertawakkal kepada-Nya, manusia dituntut terlebih dahulu untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya. Dengan kata lain, manusia dituntut untuk berusaha. Karena itu, tawakkal tidak boleh dilakukan sebelum adanya usaha dari manusia, dan memang dalam berusaha itu manusia harus meminta pertolongan kepada Allah Swt. Membaca basmalah yang dianjurkan untuk dilakukan setiap memulai satu pekerjaan pada hakikatnya adalah permohonan bantuan-Nya, di mana tanpa bantuan-Nya manusia tidak akan mampu melakukan sesuatu. Permohonan bantuan adalah permohonan agar dipermudah apa yang tidak mampu diraih oleh yang bermohon dengan upayanya sendiri. Para ulama mendefinisikannya sebagai “Penciptaan sesuatu yang dengannya menjadi sempurna atau mudah pencapaian apa yang diharapkan”. Seorang sahabat menemui Nabi Saw. di masjid tanpa terlebih dahulu menambatkan untanya. Ketika Nabi Saw. menanyakan hal tersebut, dia menjawab, "Aku telah bertawakkal kepada Allah”. Nabi Saw. meluruskan kekeliruannya tentang arti tawakkal dengan bersabda: إعقلها ثم توكل "Tambatkanlah terlebih dahulu (untamu), kemudian setelah itu bertawakkallah." (HR. At-Tirmidzy). Memang dalam al-Qur'an banyak sekali perintah untuk beramal/berusaha, juga bertawakkal. Tidak mungkin keduanya bertentangan. Ia merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Untuk menguji kebenaran tesis di atas, mari kita melihat uraian al-Qur'an tentang tawakkal. Tawakkal dalam al-Quran Perhatikanlah beberapa ayat berikut: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, engkau berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka. Engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya . QS. آli 'Imrân [3]: 159). Terbaca bahwa perintah bertawakkal datang sesudah serangkaian perintah untuk berusaha terlebih dahulu dan berakhir dengan musyarawah. Setelah kebulatan tekad menyangkut hasil musyawarah, maka itu harus dilaksanakan dengan bertawakkal /berserah diri kepada Allah Swt. b). Surahِ al-Mâidah [5]: 23: نَ Terbaca di atas bahwa perintah menyerbu yang ditujukan kepada sekelompok orang itu mendahului perintah bertawakkal jika benar mereka beriman. c). Surah Al-Anfâl [8]: 61: Di sini perintah cenderung pada perdamaian mendahului perintah bertawakkal. d). Surah Hûd [11]: 123: Di sini perintah bertawakkal datang setelah perintah beribadah, dalam arti melakukan aneka aktivitas yang direstui Allah, baik ibadah murni maupun bukan. Kata lain yang digunakan al-Qur'an dalam arti yang sama dengan tawakkal adalah fawwadha yakni "mengembalikan". Kata ini hanya digunakan sekali oleh al-Qur’an dalam bentuk kata kerja tunggal (ufawwidhu). Dalam Surah Al-Mu’mîn [40]: 38-44 diceritakan bagaimana seseorang berusaha semampunya untuk menasehati Fir`aun dan kaumnya, kemudian setelah selesai melaksanakan tugasnya, barulah ia berkata: "Kelak kamu akan ingat apa yang kukatakan kepadamu, aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hambaNya." Demikian beberapa contoh yang diangkat dari al-Qur'an, sehingga pada akhirnya kita dapat berkata bahwa al-Qur'an memerintahkan untuk berusaha, sambil memohon bantuan Allah terlebih dahulu, baru kemudian bertawakkal, seperti bunyi teguran Nabi Saw. kepada sahabat yang menambatkan untanya, yang telah dikutip di atas. Tawakkal dan Usaha Manusia Anda harus berusaha dalam batas-batas yang dibenarkan, disertai dengan ambisi yang meluap-luap untuk meraih sesuatu. Tetapi, jangan ketika anda gagal meraihnya, anda meronta atau berputus asa serta melupakan anugerah Tuhan yang selama ini telah anda capai. Tawakkal adalah buah iman kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena itu kesempurnaan iman ditandai oleh tawakkal. Dalam Surah Al-Mâidah [5]: 23 yang penulis kutip di atas, jelas sekali keterkaitan antara iman dan tawakkal dalam firman-Nya: “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang-orang mukmin”. Demikian juga firman-Nya dalam Surah Yûnus [10]: 84. Di sana Allah mengabadikan ucapan Nabi Musa As. yang berkata kepada kaumnya: Ada dua peristiwa yang dialami Nabi Muhammad Saw. bersama Sayyidina Abu Bakar Ra. yang dapat menjadi penjelasan yang sangat gamblang tentang usaha dan tawakkal, dan tempatnya masing-masing. Yakni, peristiwa hijrah dan peristiwa perang Badr. Dalam peristiwa hijrah ketika Nabi Saw. bersama Sayyidina Abubakar berada dalam gua, di mana saat itu juga sekelompok kaum musyrik yang mengejar mereka telah berada di mulut gua, ketika itu Sayyidina Abu Bakar sangat gelisah, namun Nabi Saw. sangat tenang. Beliau bersabda menenangkan sahabatnya, sebagaimana diabadikan al-Qur'an: “Jangan bersedih (dan jangan takut) sesungguhnya Allah bersama kita". Demikian dalam peristiwa hijrah, tetapi dalam peristiwa perang Badr, keadaan Nabi dan sahabat beliau itu bertolak belakang. Di sana Nabi Saw. sangat gelisah, berdoa dan berdoa, sampai-sampai terjatuh sorban beliau. Namun, Abu Bakar Ra. tampil tenang dan menenangkan beliau, bahkan menganjurkan untuk berhenti berdoa. Dua sikap Nabi Saw. yang berbeda itu adalah sikap yang diajarkannya, sebaliknya tanpa mengurangi sedikitpun penghargaan kepada sahabat Nabi yang agung Sayyidina Abu Bakar Ra. atau mengurangi jasa-jasa beliau, kita berkata bahwa sikap Sayyidina Abubakar itu adalah sikap yang kurang tepat. Dalam peristiwa hijrah di mana mereka berada dalam gua, maka ketika itu tidak ada lagi usaha yang dapat mereka lakukan -- setelah sebelumnya melakukan segala yang dapat mereka lakukan -- seperti perencanaan yang matang, penelusuran jalur menuju Madinah yang tidak biasa ditempuh, penyiapan kendaraan dan tenaga penunjuk jalan (informan), penyiapan konsumsi, dan sebagainya. Sehingga, ketika tidak ada usaha lagi, maka di sanalah tempat berserah, sambil meyakini bahwa apapun yang terjadi, maka Dia yang menjadi "wakil" akan bertindak dengan tindakan yang terbaik. Seandainya yang terjadi ketika itu adalah penangkapan bahkan pembunuhan mereka, maka itulah pilihan terbaik. Peristiwa Badr berbeda dengan peristiwa hijrah. Disana Nabi Saw. bersama sahabat beliau belum terdesak, masih ada usaha yang dapat mereka lakukan dan ini kemudian terbukti bahwa mereka berusaha membela dengan berperang. Bisa jadi juga kekuatiran Nabi Saw. itu berkaitan dengan orang banyak (313 pasukan muslim) yang bisa gugur yang berakibat seperti doa Nabi Saw. ketika itu, "Ya Allah, jika Engkau membinaskan kelompok ini, maka Engkau tidak akan disembah lagi di persada ini". Seorang muslim berkewajiban untuk menimbang dan memperhitungkan segala segi sebelum ia melangkahkan kaki. Tetapi, bila pertimbangannya keliru, atau perhitungannya meleset, maka ketika itu (akan tampil dihadapannya) Allah Swt. yang dijadikannya "Wakil", sehingga ia tidak larut dalam kesedihan dan keputusasaan, karena ketika itu ia yakin bahwa "Wakilnya" telah bertindak dengan sangat bijaksana dan menetapkan untuknya pilihan yang terbaik. "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula sebaliknya) kamu mencintai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui" (QS. 2: 216). Dengan perintah bertawakkal, al-Qur'an menghendaki agar umat Islam hidup dalam realitas yang menunjukkan bahwa tanpa usaha tak mungkin tercapai harapan, dan tak ada gunanya berlarut dalam kesedihan jika realita tidak dapat diubah lagi. "Hadapilah kenyataan. Jika kenyataan itu tidak berkenan di hati Anda atau tidak sesuai dengan harapan Anda, maka usahakanlah agar Anda menerimanya." Demikian ungkapan seorang 'arif. Tentu masih banyak uraian dan aspek dari tawakkal yang dikemukakan oleh para pakar, termasuk aneka pengertian dan penerapannya. Namun demikian, semoga apa yang dipaparkan di sini dapat memberi gambaran umum tentang makna tawakkal serta kesalahpahaman umum yang terjadi selama ini. Demikian, Wa Allah A’lam.
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|