Habibillah

The Habibillah's WebPage

Selamat Datang di Web Pribadi Habibillah

Free Web Hosting
 
Habibillah

 

 

SHALAT LAHIR-BATIN

Kalau kita ingin mengalami sholat yang betul-betul bisa mencegah perbuatan keji dan munkar, atau yang dapat menjadi sarana mi’raj kita selaku orang beriman, maka mau tidak mau kita harus mengikuti jejak para sufi, tetapi tetap dengan bertolak dari pijakan para fuqaha.

Shalat merupakan tiang agama, demikian Islam menempatkannnya sebagai keyakinan. Sebagai Rukun Islam yang kedua, ia wajib hukumnya untuk dilaksanakan, tidak boleh tidak, dengan segala ketentuan yang mengaturnya, juga sebagai instrumen komunikasi dan pendekatan diri kita dengan Sang Khalik, demikian ditegaskan dalam doktrin Islam.

Dalam wacana keislaman, shalat terlihat masih menjadi pertentangan antara para ahli fiqih dan tasawuf. Ahli fiqih tidak menetapkan khusyu’ sebagai salah satu syarat sah shalat, sedang ahli tasawuf menuntut hadirnya kekhusyu’an dalam ibadah ini.

Kita dapat menemukan sekian banyak  ayat dan hadis yang mengacu maknanya kepada kewajiban khusyu’, serta mencela mereka yang lalai dalam shalatnya. Bahkan, dalam al-Qur’an tidak ditemukan satu perintah melaksanakan shalat atau pujian kepada yang melaksanakannya, kecuali dibarengi dengan kata aqimu atau yang seakar dengannya. Ketika al-Qur’an memuji sekelompok orang yang shalat dengan benar dan baik, mereka ditunjuk dengan kalimat wa al-muqimi ash-shalat  (QS. Al-Hajj/22: 35), sedangkan ketika berbicara tentang sekelompok orang yang shalat tanpa menghayati substansinya, maka kata yang digunakannya adalah al-mushallin (QS. Al-ma’un/117: 4) tanpa menyebut kata yang seakar dengan aqimu. Memang kata tersebut mengandung makna melaksanakan sesuatu secara berkesinambungan dan dengan sempurna sesuai dengan syarat, rukun, dan sunah-sunahnya.

Kata al-mushallin  pada ayat tersebut menunjuk kepada mereka yang kalaupun telah melaksanakan shalat, tetapi shalatnya tidak sempurna, karena mereka tidak khusyu’, dan tidak pula memperhatikan berbagai syarat dan rukunnya, atau tidak menghayati arti serta tujuan hakiki dari ibadah tersebut. Mereka itulah yang lengah akan hakikat dan tujuan shalatnya, sehingga dinilai oleh surah itu sebagai orang yang mendustakan agama.

Hakikat pembenaran ad-din (agama) bukanlah ucapan dengan lidah, melainkan perubahan dalam jiwa menuju kesadaran akan kehadiran Ilahi yang pada gilirannya mendorong ke kebaikan dan kebajikan. Allah tidak menghendaki dari manusia sekedar kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi lebih dari itu adalah pengamalan, yang membenarkan kalimat yang diucapkan itu. Sebab, kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti apa-apa dan tidak dipandang-Nya, “Allah tidak memandang (menilai) fisik dan bentuk rupamu, tetapi Dia menilai hati dan amalanmu”, demikian sabda Nabi Saw.

Seandainya shalat hanya sekadar “ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam” – sebagaimana didefinisikan oleh ulama fiqih – niscaya Allah tidak menyatakan bahwa Sesungguhnya Dia berat, kecuali oleh mereka yang khusyu’ (QS. Al-Baqarah/2: 45). Seandainya shalat telah dinilai cukup hanya dengan ucapan dan gerak, niscaya Allah tidak menilai mereka yang lengah dalam shalatnya sebagai orang-orang yang mendustakan agama (QS. Al-Ma’un/107: 5).

Shalat diperintahkan antara lain untuk mengingat-Nya (QS. Thaha/20: 14) serta untuk mencegah seseorang terjerumus dalam kekejian dan kemunkaran (QS. Al-‘Ankabut/29: 45). Nah, bagaimana mungkin tujuan tersebut dapat dicapai bila seseorang lengah atau tidak menghadirkan Allah paling tidak dalam shalatnya yang minimal hanya lima kali sehari itu?

Ulama fiqih pada dasarnya hanya mengarahkan pandangan ke sisi lahiriah manusia. Nahnu nahkumu bi azh-zhahir wa Allah yatawalla as-sarair (Kami hanya menetapkan hukum berdasarkan yang lahir, sedangkan Allah menangani yang batin). Khusyu’ adalah kondisi kejiwaan yang tidak dapat terjangkau hakikat sebenarnya oleh pandangan manusia, termasuk para ahli fiqih itu.

Kalau kita ingin mengalami shalat yang betul-betul bisa mencegah perbuatan kaji dan munkar atau, dalam bahasa hadisnya, yang dapat menjadi “sarana mi’raj” kita selaku orang beriman, maka mau tidak mau kita harus mengikuti jejak sufi dengan tetap bertolak dari pijakan para fuqaha. Sebenarnya persoalan khusyu’ dalam perspektif ganda ini (fiqih dan tasawuf) bisa juga kita jadikan contoh kasus bagaimana keduanya, jika tidak dipahami secara utuh, akan tampak bertentangan atau setidaknya berpisahan. Yang satu hanyut dalam urusan-urusan lahiriah, sementara yang lain hanya mengurus hal-hal batiniah. Tetapi, jika keduanya dipahami dalam sebuah kerangka yang utuh, maka kita pada akhirnya akan mengakui bahwa keduanya merupakan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Keduanya saling terkait. Bukankah bertasawuf tanpa menghiraukan ketentuan syari’at (fiqih) tidak dibenarkan, dan sebaliknya mengamalkan syari’at tanpa hakikat juga menggersangkan ajaran Ilahi – untuk tidak mengatakan mereduksinya. Karena itu, tasawuf merupakan kelanjutan atau konsekuensi logis dari yang pertama (fiqih).

Di sinilah terjadi pertemuan. Pada akhirnya memang para fuqaha yang mendalam pengetahuannya dan para sufi yang meneladani Nabi Saw. berkesimpulan bahwa mengamalkan tasawuf tanpa bimbingan syari’at tidaklah dapat dibenarkan. Sebaliknya, mengamalkan syari’at tanpa hakikat yang diajarkan para sufi, hanyalah dilakukan oleh yang tidak memahami substansi agama. Dalam konteks shalat, maka yang diharapkan adalah “Shalat Lahir Batin”, yaitu shalat yang dilaksanakan secara sufistik dengan berlandaskan pada ketentuan-ketentuan syari’at. Dengan kata lain, shalat yang memenuhi berbagai syarat, rukun, dan sunahnya, serta disempurnakan dengan sikap khusyu’.

Apabila kita belum merasa bisa memenuhi adab batin shalat, maka al-Qur’an mewajibkan kita untuk berupaya terus menyempurnakannya. Dalam konteks upaya  peningkatan tak henti-hentinya itu, penulis pernah membuat perumpamaan, yakni kita berhubungan dengan Allah dalam shalat itu bisa diibaratkan dengan seseorang yang mencari stasiun radio. Pada mulanya, orang itu boleh jadi tidak menemukan langsung gelombang yang dicarinya. Tapi, ia harus terus berusaha, mencoba-coba mencari, sampai pada akhirnya mendengar suara jernih dari gelombang yang ia cari. Setelah menemukannya, iapun akan menandainya, sehingga kalau ingin membukanya lagi, ia tinggal mencari tandanya.

Sumber :
Ditulis oleh M. Quraish Shihab dan pernah diangkat menjadi Kata Pengantar dalam buku "Mi'raj Orang Beriman; Adab-adab Naknawi Sholat" terbitan Hikmah & IIMaN, Jakarta: 2002.

 

 

 

 

Habibillah

Habibillah
April - 2008
S M T W T F S
    1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19
20 21 22 23 24 25 26
27 28 29 30     29
  31          

Habibillah


Copyright © 2008 Habiel Corporation.