Paham Mu’tazilah
I. Pendahuluan
Teologi Islam adalah ilmu yang mempelajari keyakinan-keyakinan Agama (aqidah). Disebut juga ilmu Kalam.
Menurut para ulama, secara umum agama (al-Din) memiliki 3 elemen: Iman, Islam dan Ihsan. Pembagian ini mempunyai landasan dalam hadits dialaog antara Nabi saw dengan malaikat JIbril as. Jibril as mengajukan pertanyaan tentang apakah iman itu? Apakan Islam itu? Apakah ihsan itu? Di akhir fragmen Nabi saw bertanya kepada ‘Umar ra ,” Tahukah engkau siapa laki-laki itu?” Umar ra menjawab,” Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau saw bersabda,” Itu adalah Jibril yang dating untuk mengajarkan kalian tentang al-Diin kalian.”
Hadits ini berisi jawaban beliau tentang pokok-pokok Iman (rukun), pokok-pokok Islam (rukun) dan puncak Ihsan (ihsan kepada Allah swt, sedangkan cabang-cabangnya tersebar dalam Al-quran dan hadits-hadits lain. Para ulama kemudian menghimpun seluruh pembahasan tentang iman (aqidah) dalam teologi islam/kalam/ilmu tauhid. Seluruh pembahasan tentang Islam (syariat) dihimpun dalam ilmu fikih.Seluruh kajian tentang ihsan (akhlaq) dihimpun dalam ilmu akhlaq/tasawuf.
Tujuan Teologi Islam/Kalam
1. Menjelasan keyakinan-keyakinan Agama, misalnya:
- ketauhidan
- kenabian
- hari akhir.
2. Memberikan argumentasi terhadap keyakinan-keyakinan Agama.
Argumentasi dilakukan melalui 3 cara: Akal (aqli), wahyu (al-Quran dan al-Sunnah disebut naqli) dan kombinasi (aqli dan naqli).
Argumentasi Akal (aqli)
Cara aqli digunakan misalnya dalam membuktikan adanya Allah swt. Mengapa cara ini yang ditempuh bukannya dengan menyitir Al-Quran dan al-Sunnah? Karena tidak mungkin menggunakan al-Quran dan al-Sunnah pada tahap ini sebab jangankan kebenaran al-Quran dan al- Sunnah, keberadaan Tuhan pun sedang dipertanyakan.
Ada dua cara yang digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang keberadaan Tuhan. Pertama, cara mudah (tetapi kurang kokoh) dan yang kedua adalah cara sulit (tetapi sangat kokoh). Cara pertama dengan melihat ciptaan sebagai tanda adanya yang mencipta. Cara kedua, dengan melalui serangkaian proprosisi
-
Melalui pengamatan terhadap ciptaan/mahluk
Seorang atheis datang menjumpai Imam Abu Hanifah ra dan menyatakan keyakiannnya tentang tidak adanya Tuhan. Orang itu menantang Imam Abu Hanifah untuk dapat membuktikan yang sebaliknya, yaitu adanya Tuhan. Imam Abu Hanifah meminta waktu 3 hari kepada orang tersebut. Pada hari yang dijanjikan bertemulah mereka. Orang itu mendapati Imam Abu Hanifah sedang termenung. Orang itu bertanya,” Apakah yang sedang anda renungkan, wahai Abu Hanifah?”
Imam Abu Hanifah menjawab,” Ada satu hal yang mengherankan aku.”
“Apa yang membuatmu heran?” Tanya atheis
“ Ada sebuah kapal besar yang berlayar membawa muatan yang banyak. Lantas kapal itu merapat di pelabuhan. Kemudian muatannya turun di pelabuah tersebut dan diisi lagi dengan muatan yan lain. Lalu kapal itu berlayar lagi ke pelabuahan yang lain dan bongkar muat. Yang aku herankan adalah kapal itu tidak ada nakhoda dan anak buah kapal sama sekali.” Kata Imam Abu Hanifah.
“ Ah! Mana mungkin ada kapal seperti itu tanpa ada nakhoda dan anak buah kapal.” Teriak atheis.
“ Apa yang engkau pikir tidak mungkin itu jauh lebih mungkin dibandingkan alam semesta yang teratur ini tanpa ada pencipta dan pengatur.”
Biasanya para teolog/mutakallim membuktikan keberadaan Allah dengan 4 dalil: Dalil keberaadaan, dalil gerak, dalil keteraturan dan dalil keindahan.
-
Melalui serangkaian proposisi
Proposisi dikatakan benar bila berkorespon dengan realitas (kenyataan), atau sesuai dengan kenyataan. Sesuatu yang keberadaannya disebabkan oleh yang lain maka disebut Mumkinul wujud (wujud yang mungkin ada dan mungkin tidak ada, tergantung ada atau tidaknya penyebabnya). Sesuatu yang keberadaannya tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain bahkan menjadi penyebab bagi yang lain disebut Wajibul wujud (wujud yang niscaya). Tugas kita adalah membuat proposisi-proposisi yang kemudian bandingkan dengan kenyataan.
Proposisi I: Semua yang ada adalah wajibul wujud (Benar/Salah)
Kenyataan memperlihatkan manusia lahir dan mati. Lahir memerlukan sebab dan mati pun memerlukan sebab. Daun jatuh, mobil bergerak, hujan turun semua memerlukan sebab. Sehingga pernyataan semua adalah wajibul wujud adalah salah.
Prorposisi II: Semua yang ada adalah mumkinul wujud.
Kita ambil contoh manusia: adanya kita tergantung kepada adanya orang tua. Adanya orang tua tergantung pada adanya kakek dan nenek. Adanya kakek dan nenek tergantung dari adanya buyut dan seterusnya. Samapai kapan seterusnya itu. Kalau kita katakana sampai tidak berhingga, maka itu mustahil. Karena menyatakan samapai tak berhingga mengimplikasikan tidak adanya titik di ujung sana yang memulai rangkaian sebab ini. Tidak adanya yang memulai mengakibatkan tidak adanya kita di sini. Ternyata kenyataan memperlihatkan kita ada di sini. Artinya rangkaian tersebut berujung pada satu sebab yang tidak disebabkan oleh yang lain. Ia adalah wajibul wujud. Jadi proposisi II ini pun tidak benar, bahwa semua yang ada adalah mumkinul wujud.
Sehingga kita sampai pada kesimpulan bahwa semua yang ada ini terdiri dari mumkinul wujud dan wajibul wujud.
Dengan demikian melalui akal kita bisa memastikan adanya wajibul wujud.
Apakah wajibul wujud itu tunggal atau banyak? Proposisi-proposisi tadi membuktikan adanya wajibul wujud tetapi tidak membuktikan tunggalnya wajibul wujud. Kita memerlukan proposisi-proposisi lain untuk keperluan ini.
Dengan cara yang sama pada mutakallim/teolog membuktikan sifat Esa, Ilmu, Kuasa, Hikmah, dll.
Argumentasi Wahyu /Naqli (al-Quran dan al-Sunnah)
Seperti waktu-waktu shalat, bilangan rakaat shalat, tata cara haji, nisab zakat dll. Melalui akal kita tidak bisa menemukannya. Bagaimana akal bisa menerima adanya ritual-ritual ini. Penerimaan akal terhadap ritual ini tidak melalui penelitian terhadap bentuk ritual itu sendiri, tetapi melalui pembuktian adanya sifat Hikmah pada Allah swt. Sifat ini melazimkan adanya petunjuk untuk mencapai kesempurnaan karena akal secara mandiri sangat terbatas untuk mencapai kesempurnaan. Tanpa bantuan wahyu tujuan penciptaan manusia tidak akan tercapai. Karena itu sifat Hikmah Allah melazimkan adanya wahyu ini. Sifat Ilmu, Hikmah dan sifat Kuasa melazimkan adanya sang penerima wahyu (kenabian) dan terjaminnya wahyu itu sampai kepada manusia.
Argumentasi Kombinasi akal dan wahyu.
Tentang kewajiban berbakti kepada orang tua, membayar hutang, haramnya berzina, haram mencuri. Dll.
3. Membela keyakinan-keyakinan Agama dalam situasi konflik dengan Agama lain (termasuk dengan filsafat)
II. Aliran-Aliran Teologi Islam
Sebuah aliran dapat disebut aliran bila memiliki: Sejarah, tokoh-tokoh utama, ajaran dan pengikut. Hidup atau matinya sebuah aliran tergantung lebih kepada ada atau tidaknya pengikut dibandingkan dengan benar atau tidaknya ajaran tersebut. Beberapa aliran yang masih ada sampai hari ini seperti: Suni (Asy’ariayah, Salafiyah (termasuk wahabi), Islam Jama’ah, Moderat), Syi’ah (Imamiyah Itsna-‘asyariyah, Zaidiyah, Bathiniyah, Ghulat), Ahmadiyah (Lahore dan Qodiani), Khawarij (Abadiah).
Penyebab terjadi berbagai aliran teologi dalam Islam berakar dari perbedaan akal dalam memahami wahyu/naqli. Perbedaan ini telah terjadi di masa Rasulullah saw. Faktor historis dan politis kemudian membuat pemikiran-pemikiran itu menjadi terkristalkan. Porsi penggunaan akal dalam memutuskan suatu kebenaran tercermin pada ajaran-ajaran tiap aliran tersebut.
3.1. Faktor Historis
Sejarawan ketika memaparkan tentang sejarah teologi Islam memulai dengan episode wafatnya Rasulullah saw sebagai pencetus perbedaan paham Imamah setelah Nabi saw, disusul peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ra, perang Jamal dan Shifin sebagai landasan historis lahirnya syi’ah, khawarij, murji’ah, ahlussunnah dan mu’tazilah.
3.2. Faktor Filosofis
- Berapa besar porsi akal dalam menemukan kebenaran
- Kebaikan dan keburukan itu bersifat intrinsik (dzatiyah) atau tidak
- Free will (kebebasan memilih) itu ada atau tidak
- Perbuatan Tuhan ada tujuan atau tidak
IV. Aliran Mu’tazilah
4.1. Seputar terminologi Mu'tazilah
Kata Mu'tazilah berakar dari kata ¾l§ yang kemudian ditambahkan A dan P menjadi ¾lN§A . Mu'tazilah Ò»lN¨¿ adalah isim fail ( Kata Benda Pelaku ) dari I'tazala yang secara leksikal berarti orang yang memisahkan diri atau mengasingkan diri.
Dalam terminologi ilmu kalam atau teologi mu'tazilah kemudian diterapkan untuk orang-orang yang mengedepankan rasionalitas dalam menafsirkan nash dan mengusung paham kemerdekaan kehendak / pilihan bebas (free will) dalam perwujudan tindakan-tindakan manusia.
4.2. Kelahiran, Perkembangan dan Kematian Aliran Mu'tazilah
Suatu hari seseorang menghadap Hasan Al-Bashri (wafat 110 H / 728 M ) seraya berkata," Wahai Imam, sekarang ini ada beberapa orang yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir. Menurut mereka pelaku dosa besar adalah murtad yang dengannya ia dikeluarkan dari masyarakat Islam. Kelompok ini adalah Wa'idiyyah, sub-golongan Khawarij. Pada sisi lain, ada kelompok yang menangguhkan hukuman atas pelaku dosa besar. Bagi mereka, dosa tidak berpengaruh buruk kepada seseorang selagi ia memiliki iman. Mereka berpegang pada pendapat bahwa perbuatan-perbuatan tidak membentuk suatu bagian iman yang integral. Karenanya dosa tidak berpengaruh buruk pada seseorang yang memiliki iman. Sama halnya dengan ketaatan, tidak berfaedah kepada seseorang apabila tanpa iman. Ini adalah golongan Murjiah (golongan Penangguh). Menurutmu, mana yang harus kita yakini ?"
Ketika Hasan masih berpikir, Washil bin 'Atha' ( 80-132 H / 699-749 M ) menyela seraya berkata," Saya tidak menganggap pelaku dosa besar sebagai mukmin yang sesungguhnya dan begitu pun ia belum menjadi kafir dalam pengertian sesungguhnya. Menurut saya, ia berada di antara dua posisi (ÅÎN»lÄÀ»A ÅÎI Ò»lÄÀ»A), bukan mukmin dan bukan pula kafir."
Setelah itu Washil pun berdiri dan pindah ke dekat sebuah tiang masjid yang lain, tempat ia mulai menjelaskan tentang apa yang ia katakan tadi kepada sekelompok pengikut Hasan Al-Bashri.
Hasan lantas berkata," Bħ ¾lN§A (Ia menjauhkan diri dari kita)."
Sejak itu pengikut Washil dikenal dengan sebutan Mu'tazilah ( orang yang memisahkan diri ).(Al-Syahrastani, Al-Milal wan-Nihal, Mizan, 2004, hlm.90).
Berbagai analisa dilakukan pakar Ilmu Kalam dan pakar sejarah untuk mencari asal mula sebutan Mu'tazilah, peristiwa Washil di atas lah yang menjadi tonggak penting bagi sebutan Mu'tazilah sebagai aliran teologi rasional dan liberal.
Selain peristiwa Hasan-Washil di atas masih ada tiga pendapat yang terkenal tentang asal nama Mu'tazilah, yaitu:
-
Sebutan untuk mereka yang tidak mau ikut campur pada pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di masa Utsman bin Affan dan 'Ali bin Abi Thalib. Mereka menjauhkan diri ( I'tazala ) dari kelompok yang bertikai itu. At-Tabari menyebutkan sewaktu Qais Ibn Sa'ad sampai di Mesir sebagai Gubernur kekhalifahan 'Ali bin Abi Thalib, ia menjumpai pertikaian di sana. Segolongan ikut terlibat, sementara yang lain menjauhkan diri ke Kharbita ( I'tzala ila Kharbita). Dalam suratnya kepada Khalifah, Qais menyebut mereka Mu'tazilin. Abu Al-fida menyebutnya Mu'tazilah
-
Versi lain dari Tasy Kubra Zadah. Ia menyebutkan bahwa Qatadah Ibn Da'amah pada suatu hari masuk ke Masjid Bashrah dan menuju majelis 'Amr ibn 'Ubaid. Disangkanya majelis itu adalah majelis Hasan Al-Bashri. Begitu mengetahui itu bukan majelis Hasan, maka Qatadah mengatakan," Ini kaum Mu'tazilah." Dan ia meninggalkan tempat itu. Sejak itu, kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu'tazilah.
-
Menurut Qadhi Abdul Jabbar (tokoh Mu'tazilah), kata I'tazala terdapat dalam Al-Quran yang mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar. Menurut Ibn Al-Murtadha kaum Mu'tazilah sendirilah yang menamakan diri mereka Mu'tazilah.(mungkin yang beliau maksud QS.18:16 dan QS.19:48-49)
Munculnya aliran Mu'tazilah merupakan hal yang teramat penting dalam sejarah perkembangan intelektual Islam. Meskipun bukan rasionalis murni, masih tetap memandang nash sebagai sumber kebenaran, namun mereka memiliki kesungguhan untuk menggiatkan pemikiran tentang ajaran fundamental Islam secara sitematis. Rasionalitas ini berangkat dari anggapan bahwa akal memiliki kedudukan yang sama dengan wahyu dalam memahami agama. Bahkan, lebih jauh, dalam menyikapi hadits-hadits yang tidak sejalan dengan akal Mu'tazilah memilih pembenaran akal dan menolak hadits. Dengan asumsi rantai sanad bersifat zhanny diragukan keotentikannya. Menyangkut Aqidah, Mu'tazilah hanya menerima hadits-hadits mutawatir dan tidak menerima hadits-hadits ahad.
Selama pemerintahan Bani Umayyah ( 41 – 132 H / 661 – 749 M ) yang ideologi basis sosial dan budaya cenderung Jabariyah, gerakan Mu'tazilah ini laten dan mengambil posisi oposisi.
Kekalahan Khalifah terakhir Bani Umayyah Marwan bin Muhammad ( 127 - 132 H / 744 – 749 M ) pada pertempuran di sungai Zab, antara Mosul dan Arbil, 131 H / 748 M, menandakan berakhirnya dinasti Umayyah. Berdirilah Khilafah baru Bani Abbasiyah yang memberikan angin segar bagi perkembangan gerakan Mu'tazilah.
Aliran Mu'tazilah mencapai puncak keemasan pada zaman Khalifah Al-Ma'mun ( 198 – 219 H / 813 – 833 M ) yang kemudian berlanjut dengan Al-Mu'tashim ( 218 – 227 H / 833 – 841 M )dan Al-Watsiq ( 227 – 232 H / 841 – 846 M ), ketika aliran ini menjadi ideologi dan faham keagamaan resmi pemerintah. Kebijaksanaan Al-Ma'mun mendirikan Bait-al-Hikmah sebagai pusat kegiatan ilmiyah, mulai dari penerjemahan karya-karya Yunani kuno sampai pengkajian-pengkajian keilmuwan, telah membuat tumbuh dan berkembangnya pemikiran-pemikiran spekulatif.
Bersamaan dengan kecemerlangan bangkitnya kebebasan pemikiran liberal dan rasional, pada masa ini pulalah terjadi peristiwa memalukan, karena berlawanan dengan semangat liberal Mu'tazilah itu sendiri, yaitu mihnah ( inkuisisi ). Para para Qadhi atau hakim agama diperiksa. Orang yang mengakui Al-Quran itu qadim dianggap musyrik sehingga tidak berhak menjadi hakim. Ini pun berlaku bagi para saksi di pengadilan, yang tidak mengakui Al-Quran adalah mahluk tidak diterima kesaksiannya. Beberapa pemuka agama yang berpegang pada keqadiman Al-Quran akhirnya dibunuh. Di antara korban tindak represif rejim Abasiyah adalah imam para muhadditsin, yaitu Imam Ahmad bin Hambal. Beliau mengalami penyiksaan yang mengerikan dan dipenjara agar mengakui kemahlukan Al-Quran. Dengan keberanian dan keteguhannya beliau mempertahankan keyakinannya. Sikap Imam Ahmad ini menarik banyak pengikut dari kalangan orang-orang yang tidak sepaham dengan Mu'tazilah. Hal ini membahayakan, tetapi tidak ada yang berani membunuh Imam Ahmad bin Hambal.
Pendulum sejarah bergeser, Khalifah ke-10 Abbasiyah Ja'far Al-Mutawakkil ( 232 – 247 H / 846 – 861 M ) membatalkan pemakaian aliran Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara. Selesailah riwayat mihnah. Selanjutnya pengaruh Mu'tazilah semakin menurun. Peristiwa mihnah itu benar-benar merugikan Mu'tazilah. Apalagi mereka terkenal meragukan keoriginalan tradisi Nabi SAW dan shahabat sehingga tidak berpegang pada teguh padanya telah menimbulkan paradigma umum bahwa Mu'tazilah sama sekali berseberangan golongan ahli hadits yang menamakan dirinya juga Ahli Sunnah wal jama'ah. Titik balik ini, dengan dibatalkannya aliran Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara, menjadi akhir bagi Mu'tazilah sebagai sebuah aliran teologi. Para tokoh dan pengikut Mu'tazilah menjadi sasaran tindakan pembalasan. Terjadi pertumpahan darah, rumah pun menjadi puing-puing. Periode ini menjadi zaman kesengsaraan, kemalangan dan cobaan bagi kaum muslim. Sejak itu, Mu'tazilah sebagai sebuah aliran kalam tidak pernah bisa bangkit.
4.3. Tokoh-Tokoh Mu'tazilah
Di antara tokoh-tokoh yang memberikan sumbangan besar dan pengaruh pada paham Mu'tazilah adalah :
-
Abu Hazaifah Washil ibn 'Atha' Al-Ghazzal. Inti ajarannya adalah:
-
Abu Al-Hudzail Hamdan ibn Al-Hudzail Al-'Allaf. Diantara inti ajarannya adalah :
-
Esensi dan sifat Tuhan adalah realitas yang satu. Allah mengetahui dengan pengetahuanNya dan pengetahuan-Nya adalah Zat-Nya. Ini berlaku untuk sifat lain.
-
Daya untuk berbuat pada manusia sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan
-
Tentang kalam Allah, sebagian bertempat, seperti perintah dan larangan, pemberitaan dan pertanyaan Sebagian lagi tidak bertempat, seperti firman-Nya 'KUN'
-
Ibrahim ibn Sayyir ibn Hani' Al-Nazhzham. Di antara inti ajarannya adalah:
-
Lebih jauh dari pendefinisian keadilan Tuhan bahwa manusia yang memilih baik atau buruk, Nazhzham menambahkan Tuhan tidak berkuasa melakukan kejahatan. Karena kejahatan hanya mungkin keluar dari esensi yang jahat. Mustahil bagi Tuhan.
-
Dalam gaya bahasa Al-Quran tidak mempunyai mukjizat. Jika Tuhan tidak mengatakan tidak ada manusia yang sanggup membuat karangan seperti Al-Quran maka mungkin akan ada manusia yang dapat membuat karangan dengan susunan dan gaya bahasa yang lebih bagus dari Al-Quran.Mukjizat Al-Quran terletak pada pemberitahuan kabar gaibnya.
-
Tanpa wahyu manusia dengan karunia akalnya akan dapat mengetahui Tuhan dan dapat mengetahui mana perbuatan baik dan mana yang buruk
4.4. Pokok-Pokok Pikiran Mu'tazilah
Ada lima doktrin utama yang menurut kaum Mu'tazilah menjadi prinsip utama mereka (Al-Ushul Al-Khamsah). Prinsip-prinsip ini memberikan corak khusus aliran Mu'tazilah yang menjadikannya berbeda dengan aliran kalam lainnya. Prinsip-prinsip itu adalah:
4.1. Prinsip Tauhid, tidak ada pluralitas dan sifat (nafy Ash-shifat)
Di kalangan umat islam, khususnya para ahli kalam pengesaan terhadap Allah SWT atau tauhid memiliki jenis dan tingkatan. Tauhid Zaty, Tauhid Shifaty, Tauhid Af'aly dan Tauhid 'ibady, demikian menurut Al-Muthahhari. Tauhid Rububiyah , Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wash-shifat, demikian menurut Ibn Taimiyah. Dan pembicaraan tentang tauhid tidak keluar dari kisaran tauhid di atas, meskipun dengan sebutan yang berbeda dan sudut pandang yang berlainan.
Tauhid Zaty, artinya Zat Allah itu esa, dan tidak tersusun dari komponen-komponen yang bersatu. Tidak ada bandingan dan tandingan. Seluruh eksistensi lain adalah ciptaan-Nya dengan posisi dan derajat jauh di bawah-Nya. Mahluk bukanlah bagian dari Zat-Nya.
"…tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia…"(QS.Asy-syura : 11)
" Dan tidak ada yang setara dengan Dia." (QS.Al-Ikhlas : 4)
Tauhid Shifaty, artinya sifat-sifat Allah seperti Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Kuat, Maha Hidup, Maha Berkehendak, Maha Mendengar, Maha Melihat dan lain-lain sifat kesempurnaan-Nya, bukan merupakan realita yang terpisah dari Zat-Nya, tetapi ,merupakan manifestasi dari Zat Allah SWT.
Tauhid Af'aly, artinya semua mahluk termasuk perbuatan-perbuatan mereka adalah atas kehendak dan kuasa Allah SWT.
Tauhid ibady, artinya selain Allah tidak ada yang patut diibadahi.
Prinsip Tauhid Zaty dan 'ibadi merupakan aqidah yang diterima oleh seluruh kaum muslimin. Tetapi tentang dua tauhid yang lain, yaitu Tauhid Shifaty dan Af'aly terjadi perbedaan pendapat. Ada golongan yang menetapkan kedua tauhid itu ada pula yang menegasikannya. Mu'tazilah menetapkan tauhid shifat dengan pengertiannya sendiri dan menegasikan/menafikan tauhid af'aly pun dengan pengertiannya sendiri. Inilah ciri khas aliran Mu'tazilah di bidang tauhid.
Mu'tazilah menetapkan tauhid shifat dengan pengertian sifat-sifat mahluk tidak dapat disandangkan kepada Allah karena akan membawa pada anthopormisasi (at-tajassum atau attasybih). Juga tidak ada sifat yang berdiri sendiri di luar Zat Tuhan, karena akan menimbulkan konsekuensi berbilangnya keqadiman dan itu mustahil. Sehingga, sifat adalah esensi Tuhan itu sendiri. Al-Jubba'i menulis, ' Tuhan mengetahui dengan Zat-Nya, kuasa dan hidup dengan Zat-Nya'. Abu Huzail menulis, ' Sesungguhnya Al-Bary (Sang Maha Pencipta) Ta'ala mengetahui dengan ilmu-Nya dan ilmu-Nya adalah Zat-Nya.
Tentang Tauhid Af'aly, Mu'tazilah menolak tauhid ini, dalam arti bahwa manusialah yang bebas dan berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Perbuatan baik, buruk, ketaatan dan pembangkangan adalah pilihan-pilihan merdeka manusia. Untuk mewujudkannya menjadi tindakan manusia memiliki daya dalam dirinya yang memang sudah diciptakan Allah SWT. Secara terperinci hal ini akan dibicarakan dalam prinsip kedua Mu'tazilah berikut ini.
Tidak ada satu mazhab kalam pun yang menolak keadilan Tuhan. Akan tetapi dalam penafsiran dan implikasinya mazhab-mazhab kalam mempunyai cara pandang masing-masing.
Menurut Mu'tazilah, perbuatan-perbuatan itu secara esensial ada yang adil dan ada yang tidak adil. Akal secara mandiri dapat menilai mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk, tanpa bantuan syariah. Dan akal pun menyatakan secara otoritatif bahwa keadilan itu baik dan harus dipraktikkan, sebaliknya ketidakadilan itu buruk dan harus dihindari. Kemampuan akal ini karena memang, sebelum Allah menilai melalui syariatnya, perbuatan itu secara intrinsik sudah memiliki nilai baik dan buruk.
Dengan akal itu pulalah Mu'tazilah memandang perbuatan Allah SWT. Dengan asumsi awal Allah itu Maha Adil, maka bila Dia memberikan pahala kepada yang taat dan memberi hukuman kepada yang berdosa, hal ini adil menurut akal. Mustahil terjadi sebaliknya. Memaksa mahluk berbuat dosa, atau mencipta manusia tanpa memberinya daya kehendak bebas lalu meciptakan perbuatan dosa melalui tangan mereka lantas menghukumnya karena dosa itu maka tidak adil. Dan ini mustahil pada Allah. Tentu konsep keadailan Tuhan ini dengan sendirinya akan mengimplikasikan kebebasan manusia dan kemandirian akal dalam menilai baik buruknya suatu perbuatan.
Beberapa Nash ( teks suci ) memberikan kemungkinan penafsiran ke arah ini.
Dan katakanlah:"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir…" (QS. 18:29)
"…Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. 41:40)
Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata:"Dari mana datangnya (kekalahan) ini" Katakanlah:"Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 3:165)
….Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri… (QS. 13:11)
Al-wa'd wal-Wa'id berarti pahala yang dijanjikan dan hukuman yang diancamkan. Asumsi prinsip ini adalah Allah yang tidak pernah mengingkari janjinya. Implikasi prinsip ini adalah seorang mukmin yang mati dengan dosa besar dan tidak bertobat, maka akan kekal di neraka. Tidak ada ampunan tanpa taubat. Ampunan tanpa taubat berarti kegagalan melaksanakan ancaman. Dan perbuatan seperti itu lebih dekat pada tidak menepati janji. Dalam penilaian akal merupakan perbuatan tercela. Sehingga mustahil pada Allah.
Pandangan teologis ini terverbalkan dalam menilai pendapat kaum Khawarij dan Murjiah tentang seorang mukmin yang berdosa besar. Washil mengatakan orang jenis ini tidak mukmin dan tidak pula kafir tetapi berada di posisi antara mukmin dan kafir. Bagi kaum Mu'tazilah iman bukan hanya keyakinan dan ucapan tetapi harus diwujudkan dalam tetapi berada di posisi antara mukmin dan kafir. Bagi kaum Mu'tazilah iman bukan hanya sekedar keyakinan dan ucapan tetapi harus diwujudkan dalam perbuatan. Seorang mukmin yang berdosa, berarti secara perbuatan ia tidak beriman. Tetapi tidak bisa juga disebut kafir karena masih menyakini Allah sebagai Tuhan dan Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Bila mati dan tidak bertaubat, maka orang ini tidak masuk surga, karena bukan mukmin. Tetapi tidak juga boleh masuk neraka, karena bukan kafir. Inilah keadilan. Namun celakanya, di akhirat tidak ada tempat selain surga dan neraka, jadi harus masuk salah satu dari keduanya. Secara akal, pelaku dosa besar lebih baik ditempatkan di neraka. Menyatukan pelaku dosa besar yang mukmin dengan orang kafir dan memberikan hukuman yang sama bertentangan dengan prinsip keadilan. Sehingga mukmin yang berdosa besar dan tidak bertaubat tinggal kekal di neraka dengan kadar hukuman lebih ringan dari orang-orang kafir. Inilah keadilan.
Amr ma'ruf arinya menyuruh orang melakukan kebaikan. Nahi munkar artinya mencegah orang melakukan kejahatan. Ini merupakan kewajiban dalam Islam dan disepakati semua muslim. Perbedaan pendapat hanya pada batas-batas dan kondisi.
Mu'tazilah berpendapat kewajiban amr ma'ruf nahi munkar memang ada syaratnya pelaksanaannya. Tetapi bila praktik haram sudah terjadi secara umum, atau negara menindas rakyat dan berlaku tidak adail, maka pelaksanaan amr ma'ruf nahi munkar tidak cukup dengan hati dan lidah saja. Perlawanan bersenjata adalah pilihan yang terbaik pada kondisi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syahrastani, Muhammad ibn Abd. Al-Karim. Aliran-aliran Teologi Dalam Islam.Syuaidi Asy'ari, penerjemah. Bandung: Mizan ,2004.Terjemah dari : Al-Milal wa Al-Nihal
Muthahhari, Murtadha, Mengenal Ilmu Kalam: Cara Menembus Kebuntuan Berfikir, Ilyas Hasan, Penerjemah, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002. Terjemahan dari :An Introduction to Kalam.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.Jakarta:Universitas Indonesia, 1986.
Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Disebut naqli karena keterangan tersebut diperoleh secara naql (penukilan/riwayat/narasi) dari satu orang ke orang lain sampai ke Nabi saw. Dalam hal ini kebenaran narasi diuji dengan penelitian rantai silsilah riwayat.
Seluruh keyakian dalam Islam selalu dapat didekati melalui: akal, Wahyu atau kombinasi akal dan wahyu. Meskipun Islam memiliki banyak keyakinan terhadapa hal-hal yang berada di luar jangkauan akal tetapi Isalam tidak memiliki keyakianan yang kontradiktif /bertentangan dengan akal. Diluar jangkauan akal berbeda dengan bertentangan dengan akal. Kita tidak menerima ajaran Trinitas bukan karena diluar jangkauan akal tetapi kontradikstif dengan akal. Akal tidak bisa menerima wajibul wujud menjadi mumkinul wujud atau bergabungnya wajibul wujud dan mumkinul wujud dalam satu individu. Adanya kehidupan akhirat/kebangkitan fisik manusia berada di luar jangkauan akal. Tetapi tidak bertentangan dengan akal. Dia yang bisa menciptakan kehidupan material di sini tidak mustahil menciptakan kehidupan material di sana.